P2TP2A Perlu Diperkuat
Ketua Komisi VIII DPR RI, Ali Taher Parasong (F-PAN)/Foto:Arief/Iw
Komisi VIII DPR RI mendukung sepenuhnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) yang telah membentuk Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) sebanyak 300 Kabupaten/Kota di seluruh Provinsi atas legitimasi Pemda. Namun, karena pergerakannya atas swadaya masyarakat, sehingga keberadaannya masih lemah, baik SDM, pendanaan termasuk sarana prasarana.
“Untuk itu keberadaan P2TP2A perlu diperkuat dengan menjadikan unit pelaksana teknis daerah (UPTD) PPA yang menjadi penanggungjawab penyelenggara layanan terhadap perempuan dan anak tingkat dasar dan lanjutan,” demikian penegasan Ketua Komisi VIII DPR Ali Taher Parasong ketika memimpin Raker dengan Menteri PPPA dan Plt. Dirjen Pembangunan Daerah Kemendagri, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (24/01/2018).
Meski demikian, lanjut politisi F-PAN itu, berdasarkan temuan di beberapa daerah, tenyata masih ada daerah yang masih berat dan enggan melaksanakan P2TP2A dengan berbagai alasannya. Dalam UU No. 23 Nomor 2014 tentang Pemda mengatur bahwa PPPA adalah menjadi urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh semua daerah.
Diperjelas dalam lampiran UU tersebut tentang pembagian urusan PPPA khusus dengan pelayanan rujukan akhir bagi anak korban kekerasan yang memerlukan kordinasi tingkat nasional, lintas provinsi dan internasional.
“Namun hal ini tidak bisa terlaksana karena keterputusan kewenangan antara Pemda dan KPPA yang tidak memiliki kewenangan untuk itu, sehingga wajar realita yang kita hadapi sekarang berbagai permasalahan PA yang secara massif dan meningkat signifikan terjadi tidak bisa diatasi secara nasional,” tambah Ali Taher.
Menteri PPPA Yohana Yembise dalam rapat ini menjelaskan, kondisi perempuan dan anak selama ini masih jauh dari harapan, bahkan seringkali melampaui batas-batas kemanusiaan. Survey pengalaman hidup perempuan tahun 2016 angka kekerasan pada perempuan sangat tinggi, sebesar 33,4 persen atau 1 diantara 3 perempuan mengalami kekerasan. Jika dihitung jumlah penduduk tahun 2016 sebabyak 260 juta orang maka jumlah perempuan yang mengalami kekerasan sekitar 43 juta orang.
Menurutnya, kekerasan selalu menimbulkan akibat buruk secara fisik, psikis bahkan secara ekonomi. Kekerasan terhadap anak juga tidak kalah parahnya, survey 2013 menunjukkan angka apada anak laki-laki sebesar 38,62 persen sedangkan pada anak perempuan sebesar 20,4 persen. Sebagian besar atau 70 persen kasus kekerasan ini terjadi pada rumah tangga. “Survey semacam ini akan dilakukan lagi pada tahun ini setelah 5 tahun dari survey terakhir,” jelasnya.
Selain itu pencatan dan pelaporan kasus kekerasan yang erintegrasi dari Kabupaten/kota sampai di Kemen.PPPA tercatat 11.659 kasus sepajang tahun 2016 dan korban sebanyak 12.621 orang terdiri dari 2.576 laki-laki dan 10.045 perempuan. Dari jumlah korban tersebut baru 7.029 atau 55,7 persen yang terlayani.
Tahun 2017 terjadi 15.759 kasus dengan korban 17.054 dimana 3.742 laki-laki dan 13.312 perempuan. Dari jumlah itu baru 49,1 persen atau 8.370 yang terlayani. “Data-data ini menunjukkan bahwa masyarakat sudah berani melapor,” jelas Menteri Yohana. (mp/sf)